KONSEPSI DASAR ADAT MINANGKABAU

06.45 Diposting oleh Minangkabau


A. Pengertian Adat Minangkabau
Setiap suku bangsa atau bangsa, sejak dari yang tertutup atau primitif sampai
kepada yang terbuka struktur masyarakatnya atau modern, umumnya
mempunyai pandangan hidup sendiri, yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Pandangan hidup suatu suku bangsa atau bangsa ialah perpaduan dari nilai-nilai
yang dimiliki oleh suku bangsa atau bangsa itu sendiri, yang mereka yakini
kebenarannya, dan menimbulkan tekad pada suku bangsa atau bangsa itu untuk
mewujudkannya Suku bangsa Minangkabau (orang Minang), yang merupakan
salah satu suku bangsa yang membentuk bangsa Indonesia mempunyai
pandangan hidup sendiri yang berbeda dengan pandangan hidup suku-suku
bangsa lainnya. Pandangan hidup orang Minang tertuang dalam ketentuan adat,
yang disebut dengan ADAT MINANGKABAU.
Dapat diakatakan bahwa Adat Minang adalah merupakan falsafah kehidupan
yang menjadi budaya atau kebudayaan Minang. Ia merupakan suatu aturan atau
tata cara kehidupan masyarakat Minang yang disusun berdasarkan musyawarah
dan mufakat dan diturunkan secara turun temurun secara alamiah1


Pengertian adat dalam kehidupan sehari-hari orang Minang memberikan
makna sebagai Sawah diagiah bapamatang, ladang diagiah bamintalak, Nak
babedo tapuang jo sadah, Nak babikeh minyak jo aia, Nak balain kundua jo
labu.2
Ungkapan petatah petitih ini merupakan kaidah sosial yang mengatur tata
nilai dan struktur masyarakat, yang membedakan secara tajam antara manusia
yang berbudaya dengan binatang dalam tingkah laku dan perbuatannya. Dengan
Bahan yang disampaikan untuk Pembekalan Kuliah Kerja Sosial Keluarga Mahasiswa∗
Minang Korkom UIN Syarif Hidayatullah di Nagari VII Koto Talago, Kecamatan Guguk, Kab.50
Kota-Sumbar
demikian adat Minang mengatur tata nilai dalam kehidupan mulai dari hal yang
sekecil-kecilnya sampai kepada perihal kehidupan yang lebih luas, misalnya
kehidupan politik, ekonomi, hukum, dsb.
B.Dasar Filsafat Adat Minangkabau
Dalam adat Minangkabau terdapat beberapa ketentuan yang memberikan ciri
khas kepada adat Minang sebagai falsafah dan pandangan hidup. Ketentuan itu
adalah fatwa-fatwa adat Minang berdasarkan ketentuan alam nyata. Dengan
demikian maka adat Minangkabau itupun dengan sendirinya mempunyai dasar
falsafah yang nyata pula3 Pertumbuhan dan perkembangan adat Minang
semenjak dahulu kala secara garis besarnya terbagi atas dua priode; yaitu priode
sebelum Islam datang dan priode setelah Islam datang.
Sebelum Islam dianut oleh masyarakat Minang, tata nilai kehidupan
masyarakat Minang umumnya dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu dan Buda
Sebelum tahun 914 Masehi di Minangkabau terdapat kebudayaan Hindu, dan
sebagai bukti sejarah, ditemukannya Candi Muara Takus. Namun kebudayaan
Hindu ini tidak mempunyai bekas dalam kebudayaan Minang.4 dan ketentuan
adatnya hanya didasarkan pada kaidah-kaidah alam yang diformulasikan oleh
pikiran manusia sesuai dengan keinginannya, sehingga bisa terjadi prilaku atau
perbuatan tidak terpuji tetapi dibenarkan oleh adat.
Ketentuan-ketentuan ini digambarkan dalam berbagai bentuk dan corak yang
merupakan pernyataan langsung dari ketentuan-ketentuan itu berupa petatah
petitih, pantun, gurindam dsb. Umumnya mengandung anjuran dan aturan
dalam bertingkah laku berdasarkan ketentuan alam secara langsung dengan
perumpamaan. Inilah yang dimaksud oleh petatah petitih adat yang berbunyi
“Panakiak pisau sirauik, ambiak galah batang lintabuang, silodang ambiak
kanyiru. Nan satitik jadikan lauik, nan sakapa jadikan gunuang, alam takambang
jadi guru” 5
Jadi sebelum agama Islam masuk ke Minangkabau, nenek moyang orang
Minang telah menjadikan sunnatullah yang terdapat dalam alam ini sebagai
dasar adat Minangkabau. Apa yang terjadi di alam dijadikan sebagai guru atau
i’tibar bagi kehidupan Alam yang terkembang di hadapan kita sebagai makhluk
Allah adalah flora, fauna dan benda alam lainnya. Pada alam ini berlaku hukum
alam (sunnatullah) Berdasarkan hukum alam ini dibuatlah ketentuan adat
berupa petatah petitih, misalnya : api panas dan membakar, air membasahi dan
menyuburkan, kayu berpokok, berdahan, berdaun, berbunga dan berbuah,
lautan berombak, gunung berkabut, ayam berkokok, kambing mengembek,
harimau mengaum dsb
Jadi pada dasarnya pada priode ini adat Minang telah mendasarkan
ajarannya kepada sunnatullah (hukum alam) sebagai guru dan i’tibar. Pada taraf
ini adat hanya bersendikan alur dan patut. Setelah Islam datang ke Minangkabau
Sampai dengan masa pemerintahan Adityawarman (1347-1376), kerajaan
Pagaruyung (Minangkabau) masih menganut agama Budha. Barulah pada masa
anaknya Ananggawarman yang bergelar Raja Alif, Minangkabau telah menjadi
Islam.6
Secara berangsur-angsur tatanilai kehidupan masyarakat Minang berubah
dan dipengaruhi oleh ajaran Islam. Semenjak itu ada yang rumusannya tidak lagi
didasarkan pada musyawarah dan mufakat, akan tetapi berdasarkan ketetapan
dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-nya. Namun yang
harus difahamni adalah bahwa ketika Islam datang ke Minangkabau bukan tidak
terjadi konflik antara adat dan Islam, akan tetapi konflik itu akhirnya menyatu
menjadi integrasi antara adat dan Islam7
Tahapan-tahapan yang dilalui sampai mengambil bentuk integrasi itu adalah
sbb :
Tahap pertama adalah tahap adat basandi alua jo patuik dan syarak basandi
dalil. Dalam tahap ini adat dan syarak jalan sendiri-sendiri dalam batas-batas
yang tidak saling mempengaruhi. Masyarakat Minang mengamalkan agamanya
dalam bidang akidah dan ibadah, sedangkan bidang sosial mereka
memberlakukan adat8 Tahap kedua adalah adat basandi syarak dan syarak
basandi adat. Dalam tahap ini salah satunya menuntut hak mereka kepada pihak
lain sehingga keduanya sama-sama dibutuhkan tanpa ada yang tergeser. Pada
tahap ini terjadi adat dan syarak saling membutuhkan dan tidak bisa dipisahkan.
Hubungan kekerabatan di Minang mulai diperluas melalui sistim bako anak
pisang.9 Tahap ketiga adalah tahap adat basandi syarak dan syarak basandi
Kitabullah, syarak mangato adat mamakai. Pada tahap ini antara adat dan
syarak telah terintegrasi. Ini berawal dari kesepakatan yang dibuat di Bukit
Marapalam.10
Berdasarkan penjelasan tersebut sesungguhnya dapat dijelaskan tiga bentuk
derajat falsafah adat Minangkabau.
1. Bentuk yang berdasarkan agama, yang merupakan derajat tertinggi
karena didasarkan pada firman Allah dan Sunnah Rasul-Nya.
2. Bentuk yang berdasarkan kepada ketentuan-ketentuan terdapat dalam
alam nyata yang dinyatakan dalam bentuk hukum alam atau sunnatullah.
3. Corak dan derajat terendah adalah timbul dari buah fikiran manusia,
seperti filosuf.11
Jadi dasar falsafah adat Minangkabau itu bertumpu pada ketetapanketetapan
Allah dan Rasulnya, yang tertuang dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul-
Nya, termasuk yang dapat dicermati dari ayat-ayat Kauniah yang berupa
Sunnatullah (hukum alam). Sedangkan pemikiran para filosof Minang sendiri
menempati posisi yang paling rendah dari dasar falsafat adat Minang tersebut.
C. Tingkatan Adat Minangkabau
Dari proses pertumbuhan dan perkembangannya adat Minang sampai
dewasa ini, seperti yang telah disinggung di atas terdapat empat jenis adat, yaitu:
1. Adat istiadat
2. Adat nan teradat
3. Adat nan diadatkan
4. Adat nan Sabana adat.
Adat jenis 1 dan 2 diformulasikan melalui musyawarah mufakat dari suatu
kelompok (nagari) masyarakat sesuai dengan kondisi dan priode waktu tertentu.
Karenanya kedua jenis adat ini dapat berubah disesuaikan dengan keadaan dan
waktu. Jenis adat 3 adalah diformulasikan dengan kesepakatan berdua oleh
Dt.Perpatih nan Sabatang dan Dt.Ketumanggungan.
Dt.Perpatih Nan Sabatang dan Dt.Ketumanggungan adalah dua orang pemikir
dan peletak dasar adat Minangkabau. Merekalah yang membuat patokanpatokan
yang akan diberlakukan bagi anak keturunannya, yaitu masyarakat
Minangkabau. Patokan-patokan yang telah mereka buat itu kemudian
terlestarikan dalam bentuk TAMBO ADAT MINANGKABAU. Tambo adalah teks
yang menjelaskan penghadapan Minangkabau dengan dinamika sejarahnya,
bagaimana perubahan bisa diterangkan dan bagaimana pula realitas sekitar
harus difahami. Dengan demikian Tambo bukan saja merupakan pertanggungan
jawab kultural, tetapi juga landasan tradisi. Tambo memberikan patokanpatokan
rasionalitas tentang hal-hal yang menguntungkan, dan landasan
normatif tentang hal-hal yang menyenangkan. Dengan kata lain Tambo dapat
dilihat sebagai Weltanschaung dan sekaligus ethos Minangkabau.12 berdasarkan
ketentuan dan sifat alam yang berkembang, dihimpun dalam bentuk petatah
petitih Minang, dan sifatnya tetap dan tidak berubah dan sesuai sepanjang masa.
Sedangkan adat jenis ke 4 ialah aturan atau ketentuan kehidupan yang terjadi
menurut sifatnya berdasarkan ketentuan alam ciptaan Tuhan dan juga
berdasarkan ketetapan ayat-ayat Al-Quran dan Sunnah Rasul-Nya. Oleh karena
itu adat ini juga bersifat kekal. Hal ini terungkap dalam ungkapan :
Bamain api tabaka
Bamain aia basah
Bulek aia dek pambuluh
Bulek kato dek mufakat dsb13
Dari penjelasan di atas tampak bahwa ketentuan adat yang disusun dari
ketentuan alam, baik sifat atau hukumnya yang bersifat logik dan benar, tidak
bisa dibantah kebenarannya. Kebenaran yang tidak bisa dibantah inilah yang
terdapat pada adat jenis 3 dan 4, yang disebut dalam petatah petitih : Adat nan
indak lakang dek paneh, indak lapuk dek hujan, dibasuh bahabih aia, dikikih
bahabih basi, dianjak tak layua, dibubuik tak mati.14
12 Lihat, Taufik Abdullah, Adat, Nasionalisme, dan Strategi Kultural Baru , makalah
Simposium Keserasian Adat Minang, Jakarta, 26 April 1991, t.d., h.4
13 Artinya : Bermain api terbakar – karena sifat api itu memang membakar, bermain air itu
basah, karena sifat air itu basah dan membasahi. Bulat air karena pipa, karena sifat air mengikuti
tempatnya. Bulat kata adalah karena mufakat.
14 Artinya : Adat yang tidak lekang oleh panas, dan tidak lapuk oleh hujan, jika dibasuh
menghabiskan air, jika dikikis menghabiskan besi, jika dipindah ia tidak akan layu, dan jika
dicabutpun ia tak akan mati.
D.Sifat Adat Minangkabau
Sifat adat Minang, sebagai akibat logis dari jenis adat di atas maka dapat
dikelompokan menjadi dua, yaitu yang lestari dan yang berubah Selagi orang
Minang taat memeluk agama Islam dan beriman serta bertaqwa kepada Allah
swt, maka nilai-nilai yang terkandung di dalam ketentuan adat nan sabana adat
akan lestari sepanjang masa. Seseorang yang mengaku orang Minang akan/harus
mematuhi ketentuan-ketentuan agamanya yang dipakaikan dalam adat tersebut.
Demikian juga struktur masyarakat Minang yang tersusun menurut garis ibu
dimana pewarisan sako dan pusako yang telah dimantapkan oleh nenek moyang
mereka Dt.Perpatiah nan Sabatang dan Dt.Ketumanggungan, akan tetap
menurut garis ibu. Seseorang hanya berhak mewarisi sako (penghulu adat) kalau
lai tumbuh dibukunyo, artinya yang bersangkutan jelas silsilah atau ranjinya
menurut keturunan garis ibu yang ikatannya adalah batali darah, yang dikenal
dengan ungkapan :
Biriak biriak turun kasasak
Tibo disasak makan-makan
Dari niniak turun ka mamak
Dari mamak turun ka kamanakan.
Begitu juga pewarisan pusako (harta pusaka) pada dasarnya tetap melalui
garis keturunan ibu. Kedua contoh ketentuan adat tadi tidak akan mengalami
perubahan, dan bersifat sangat prinsip dalam struktur masyarakat dan adat
Minang.
Tentu saja tidak seluruh jenis adat bersifat tetap, nan tak lakang dek paneh
dan tak lapuk dek hujan. Jenis adat nan teradat dan adat istiadat dapat saja
berubah sesuai dengan keadaan lingkungan dan kemajuan zaman. Ketentuan ini
diungkapkan dalam petatah petitih :
Sakali aia gadang
Sakali tapian baranjak
Walaupun barubah disitu situ juo
Sakali gadang batuka
Sakali peraturan barubah
Namun adat baitu juo.15
15 Artinya : Sekali air besar/bah, maka tepian mandi ikut berubah, walaupun berubah,
perubahannnya hanya di sekitar tempat itu juga. Jika terjadi perubahan keadaan dan
lingkungan, maka peraturannyapun ikut berubah, tidak terkecuali adat Minang.
Jadi pada umumnya adat Minang itu bersifat terbuka hal ini sejalan dengan
ungkapan yang diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu :
Dimano bumi dipijak, disitu langik dijunjuang
Dimano ranting dipatah, disinan aia disauk
Masuk kandang kambiang mangembek
Masuk kandang kabau malanguah.
Tibo di rantau induak samang dan dunsanak cari dahulu16
Dengan demikian ketika kita hendak mencoba memahami adat Minang, yang
perlu untuk kita ketahui adalah nan ampek (yang empat) Yang dimaksud dengan
yang empat itu adalah, bahwa patokan-patokan hidup itu didasarkan pada
ungkapan-ungkapan yang disederhanakan dalam bentuk pasangan-pasangan
aturan itu didasarkan atas empat patokan.
Nan ampek itu ialah :
1. Asal suku di Minangkabau adalah ampek; Bodi, Caniago, Koto dan Pilang.
2. Mula-mula adat diciptakan oleh nenek moyang kita adalah; adat
bajanjang naik batanggo turun,adat babarih babalabeh, adat baukua jo
bajangko, adat batiru bataladan.
3. Jalan yang harus dilalui dalam hidup ini ada empat; jalan mandata, jalan
mandaki, jalan melereng dan jalan manurun
4. Ajaran adat ada empat; raso, pareso, malu dan sopan.
5. Dasar nagari ada empat; taratak, dusun, koto dan nagari.
6. Kato-kato ada empat; kato pusako, kato mufakat, kato kamudian dan
kato dulu.
7 . Hukum ada empat; hukum ilmu, hukum kurenah, hukum sumpah dan
hukum perdamaian.
8. dll.
Itulah beberapa penjelasan singkat di seputar Konsepsi Adat Minang.
Cirendeu, “AFA”,200706.
16 Artinya : Dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung, dimana ranting dipatahkan
disana juga airnya digunakan masuk kandang kambing mngembek, masuk kandang kerbau
melenguh, sampai di perantauan induk semang dan dunsanak cari dahulu.

Sumber : http://palantaminang.wordpress.com

lanjuikkan..
Read More

Filosofi Hidup di Minangkabau

03.23 Diposting oleh Minangkabau


Alam takambang jadi guru dan diberi ruh oleh Islam. Konsep ABS-SBK adalah kristalisasi ajaran hukum alam yang bersumber dari Islam. Yang diperlukan sekarang adalah pemantapan dan pengamalan. Maka, prinsip-prinsip ABS-SBK harus masuk ke dalam seluruh kehidupan secara komprehensif.

Dengan perpaduan yang baik, kebudayaan Minangkabau akan berlaku universal. Langkah sekarang adalah, menjabarkan ajaran ABS-SBK, secara sistematis dan terprogram ke dalam berbagai sistem kehidupan. Dimulai dalam pelaksanaan pemerintahan di tingkat Nagari, seperti, kebersamaan, gotong royong, sahino samalu, kekerabatan, dan penghormatan sesama, atau barek sapikue ringan sajinijing, yang menjadi kekuatan di dalam incorporated social responsibility.

Kekusutan dalam masyarakat Minangkabau, khususnya di tingkat Nagari-nagari dapat diatasi dengan komunikasi dengan generasi muda. Persoalan prilaku harus mendapatkan porsi yang besar, selain persoalan kelembagaan. Prilaku orang Minang terutama generasi muda sangat mengkhawatirkan.

Selain lemahnya komunikasi, masalah yang muncul di Nagari adalah rapuhnya solidaritas. Diperlukan sosialisasi nilai-nilai budaya Minangkabau. Selanjutnya, membentuk kembali struktur masyarakat adat di Nagari-nagari.

Sebagai masyarakat beradat dengan pegangan adat bersendi syariat dan syariat yang bersendikan Kitabullah, maka kaedah-kaedah adat itu memberikan pula pelajaran-pelajaran antara lain,

1. Mengutamakan prinsip hidup seimbang.

Ketahuilah bahwa ni’mat Allah, sangat banyak.

“Dan jika kamu menghitung-hitung ni’mat Allah, niscaya kamu tidak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi maha Penyayang” (QS.16, An Nahl : 18).

Hukum Islam menghendaki keseimbangan antara perkembangan hidup rohani dan perkembangan jasmani ; “Sesungguhnya jiwamu (rohani-mu) berhak atas kamu (supaya kamu pelihara) dan badanmu (jasmanimu) pun berhak atasmu supaya kamu pelihara” (Hadist).

Keseimbangan tampak jelas dalam menjaga kemakmuran di ranah ini, “Rumah gadang gajah maharam, Lumbuang baririk di halaman, Rangkiang tujuah sajaja, Sabuah si bayau-bayau, Panenggang anak dagang lalu, Sabuah si Tinjau lauik, Birawati lumbuang nan banyak, Makanan anak kamanakan. Manjilih ditapi aie, Mardeso di paruik kanyang.

Hal ini seiring dengan bimbingan hadist Rasul SAW, “Berbuatlah untuk hidup akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok dan berbuatlah untuk hidup duniamu, seolah-olah akan hidup selama-lamanya“ (Hadist).

2. Kesadaran kepada luasnya bumi Allah.

Dianjurkan, jangan tetap tinggal terkurung dalam lingkungan yang kecil.[i] Diajarkan, bahwa Allah SWT telah menjadikan bumi mudah untuk digunakan. Maka, berjalanlah di atas permukaan bumi, makanlah dari rezekiNya, kepadaNya lah tempat kamu kembali.

Maaka berpencarlah kamu di atas bumi, dan carilah karunia Allah dan (di samping itu) banyaklah ingat akan Allah, supaya kamu mencapai kejayaan”. (QS.62, Al Jumu’ah : 10).

Karatau madang dihulu babuah babungo balun. Marantau buyuang dahulu dirumah paguno balun. Ditanamkan pentingnya kehati-hatian “Ingek sa-balun kanai, Kulimek sa-balun abih, Ingek-ingek nan ka-pai, Agak-agak nan ka-tingga”.

3. Mencari nafkah dengan “usaha sendiri”.

Memiliki jati diri, self help, mandiri dengan modal tulang delapan kerat, dengan cara yang amat sederhana sekalipun, “lebih terhormat”, daripada meminta-minta dan menjadi beban orang lain.

Arahan syarak menyebutkan, “Kamu ambil seutas tali, dan dengan itu kamu pergi kehutan belukar mencari kayu bakar untuk dijual pencukupan nafkah bagi keluargamu, itu adalah lebih baik bagimu dari pada berkeliling meminta-minta”. (Hadist).

Membiarkan diri hidup dalam kemiskinan dengan tidak berusaha adalah salah. “Kefakiran (kemiskinan) membawa orang kepada kekufuran (keingkaran)” (Hadist).


4. Tawakkal dan bekerja dengan tidak boros.

Kerja merupakan unsur utama produksi untuk memenuhi hak hidup, hak keluarga, dan masyarakat guna mendorong fungsi produksi dalam mengoptimalkan sumberdaya insani yang mengacu full employment.

Syarak (agama Islam) menghargai kerja sebelum menghargai produknya, sehingga aktivitas produksi yang padat karya lebih disenangi daripada padat modal, karena model ini lebih memberdayakan produsen. Menjadi pengemis sangat dibenci. Mencari dan berproduksi selalu diiringkan dengan tawakal.

Tawakkal bukan berarti “hanya menyerahkan nasib”, dengan tidak berbuat apa-apa, menunggu datangnya rezki dan takdir, tanpa mau berusaha, atau bersikap fatalis, adalah satu kesalahan besar. Jangan kamu menadahkan tangan dan berharap, “Wahai Tuhanku, berilah aku rezeki, berilah aku rezeki”, sedang kamu tidak berikhtiar apa-apa. Langit tidak menurunkan hujan emas ataupun perak.[ii] Dan, “Bertawakkallah kamu, seperti burung itu bertawakkal”. Tak ada kebun tempat ia bertanam, tak ada pasar tempat ia berdagang. Tetapi tak kurang, setiap pagi dia terbang meninggalkan sarangnya dalam keadaan lapar, dan setiap sore dia kembali dalam keadaan “kenyang”.[iii]

5. Kesadaran kepada ruang dan waktu,

Dorongan berproduksi dan menghasilkan sesuai syarak (Islam) memiliki nilai tambah dengan adanya fungsi sosial.

Produksi yang Islami lebih mempertimbangkan keperluan (needs) orang banyak, dibanding dengan mendapatkan keinginan (wants), yang menjadi kesenangan bagi orang berdaya beli kuat.

Agama Islam membangkitkan kesadaran kepada ruang dan waktu (space and time consciousness), kepada peredaran bumi, bulan dan matahari, yang menyebabkan pertukaran malam dan siang, dan pertukaran musim, yang memudahkan perhitungan bulan dan tahun.

Menyia-nyiakan waktu, dengan pasti akan merugi. Maka, kehidupan mesti diisi dengan amal berguna.[iv]

” dan Kami jadikan malam sebagai pakaian. Dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan ” (QS.78, An Naba’ : 10-11).

Malam itu disebut sebagai pakaian, karena malam itu gelap menutupi jagat sebagai aian menutupi tubuh manusia.

6. Harus pandai mengendalikan diri.

Jangan melewati batas, dan berlebihan. Jangan boros.

“Wahai Bani Adam, ailah perhiasanmu, pada tiap-tiap (kamu pergi) ke masjid (melakukan ibadah); dan makanlah dan minumlah, dan jangan melampaui batas; sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. (QS..7, Al A’raf : 31)

Manusia diharuskan berusaha membanting tulang dan memeras otak, untuk mengambil sebanyak-banyak faedah dari alam sekelilingnya, dan menikmatinya sambil mensyukurinya. Tuntutan syar’i (syarak mangato adaik mamakai) adalah, beribadah kepada Ilahi.

Manusia harus menjaga diri dari perbuatan yang melanggar batas-batas kepatutan dan kepantasan, agar jangan terbawa hanyut oleh materi dan hawa nafsu yang merusak. Satu bentuk persembahan manusia kepada Maha Pencipta, yang menghendaki keseimbangan antara kemajuan di bidang rohani dan jasmani. Sikap hidup (attitude towards life) yang demikian, menjadi sumber motivasi bagi kegiatan di bidang ekonomi.

Tujuan terutama untuk keperluan-keperluan jasmani (material needs). Hasil nyata tergantung kepada dalam dangkalnya sikap hidup tersebut berurat dalam jiwa, serta tingkat kecerdasan yang dicapai, dan keadaan umum di mana mereka berada.

Yang perlu dijaga ialah supaya dalam segala sesuatu harus pandai mengendalikan diri, agar jangan melewati batas, dan berlebihan.

“Ka lauik riak mahampeh, Ka karang rancam ma-aruih, Ka pantai ombak mamacah. Jiko mangauik kameh-kameh, Jiko mencancang, putuih – putuih, Lah salasai mangko-nyo sudah”.

Artinya bekerja sepenuh hati, dengan mengerahkan semua potensi yang ada, tidak menyisakan kelalaian ataupun ke-engganan. Tidak berhenti sebelum sampai, dan tidak berakhir sebelum benar-benar sudah.

[i] QS.4, An Nisak : 97.

[ii] Ucapan Khalifah Umar bin Khattab, yang ditujukan kepada seorang pemuda yang hanya berdoa tanpa berusaha.

[iii] Atsar dari Shahabat.

[iv] ibid. QS.16 : 17 dan QS.14,Ibrahim : 33.

Sumber :http://bundokanduang.wordpress.com



lanjuikkan..
Read More

Tentang Harta Pusaka Tinggi

02.56 Diposting oleh Minangkabau


Perbedaan pendapat tentang harta pusako ini sebenarnya telah terjadi sejak dari Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawy. Beliau mengarang sebuah kitab berjudul : Ad Doi’ al Masmu’ fil Raddi ‘ala Tawarisi al ‘ikwati wa Awadi al Akawati ma’a Wujud al usuli wa al Furu’i, yang artinya : Dakwah yang didengar Tentang Penolakan Atas Pewarisan Pewarisan Saudara dan anak Saudara Disamping Ada Orang Tua dan Anak. Kitab itu di Tulis di Mekah pada akhir abat ke XIX. ( DR Amir Syarifuddin Pelaksanaan Hukum Pewarisan Islam Dalam Adat Minangkabau 275). Namun, beliau berbeda pendpat dengan murid beliau seperti Syekh Dr.H.Abd.Karim Amrullah.

Murid beliau Syekh Rasul ( H.Abdul Karim Amrullah ) – ulama yang belakangan ini melihat harta pusaka dalam bentuk yang sudah terpisah dari harta pencarian. Beliau berpendapat bahwa harta pusaka itu, sama keadaannya dengan harta wakaf atau harta musabalah yang pernah diperlakukan oleh Umar ibn Kattab atas harta yang didapatnya di Khaybar, yang telah dibekukan tasarrufnya dan hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Penyamaan harta pusaka dengan harta wakaf tersebut walaupun ada masih ada perbedaannya, adalah untuk menyatakan bahwa harta tersebut tidak dapat diwariskan. Karena tidak dapat diwariskan, maka terhindarlah harta tersebut dari kelompok harta yang harus diwarisklan menurut hukum Faraid; artinya tidak salah, kalau padanya tidak berlaku hukum Faraid.

Pendapat beliau ini di ikuti oleh ulama lain di antaranya Syekh Sulaiman ar Rasuli. ( DR Amir Syarifuddin Pelaksanaan Hukum Pewarisan Islam Dalam Adat Minangkabau 278)

Kemudian Buya Hamka berpendapat tentang harta pusaka sebagai berikut :

- Yang pertama, “Bahwa Islam masuk ke Minangkabau tidak mengganggu susunan adat Minangkabau dengan pusaka tinggi. Begitu hebat perperangan Paderi, hendak merubah daki-daki adat jahiliyah di Minangkabau, namun Haji Miskin, Haji A.Rachman Piobang, Tuanku Lintau, tidaklah menyinggung atau ingin merombak susunan harta pusaka tinggi itu. Bahkan pahlawan Paderi radikal, Tuanku nan Renceh -n yang sampai membunuh Mak Uncu-nya (adik perempuan ibunya) karena tidak mau mengerjakan sembahyang – bukanlah karena - bahwa beliau menyinggung-nyinggung susunan adat Itu. Kuburan Tuanku Nan Renceh di Kamang terdapat di dalam Tanah Pusako Tinggi”. (IDAM hlm 102 )

- Yang kedua , “ Ayah saya DR. Syekh Abdulkarim Amrullah – berfatwa bahwa harta pusaka tinggi adalah sebagai waqaf juga, atau sebagai harta musaballah yang pernah dilakukan Umar bin Khatab. Pada hartanya sendiri di Khaibar, boleh diambil isinya, tetapi tidak boleh di Tasharruf kan tanahnya. Beliau mengemukan kaidah usul yang terkenal yaitu; Al Adatu Muhak Kamatu, wal ‘Urfu Qa-Dhin Artinya Adat adalah diperkokok, dan Uruf ( tradisi) adalah berlaku”. (IDAM hlm 103)

- Yang ke tiga, Satu hal yang tidak disinggung-singgung, sebab telah begitu keadaan yang telah didapati sejak semula, yaitu harta pusaka yang turun menurut jalan keibuan. Adat dan Syarak di Minangkabau bukanlah seperti air dengan minyak, melainkan berpadu satu, sebagai air dengan minyak dalam susu. Sebab Islam bukanlah tempel-tempelan dalam adat Minangkabau, tetapi satu susunan Islam yang dibuat menurut pandangan hidup orang Minangkabau. (Hamka, Ayahku hlm. 9)

- Yang ke empat, “Pusaka Tinggi” inilah dijual tidak dimakan bali di gadai tidak dimakan sando (sandra). “Inilah Tiang Agung Minangkabau” selama ini. Jarang kejadian pusako tinggi menjadi pusako rendah, entah kalau adat tidak berdiri lagi pada suku yang menguasainya (Hamka, dalam Naim, 1968:29)

Keputusan Seminar

I. Keputusan pada Seminar atau Musyawaratan Alim Ulama, Niniak mamak dan cadiak pandai Minangkabau pada tanggal 4 s/d 5 Mei 1952 di Bukittinggi maka Seminanr menetapkan :

1. Terhadap “Harta Pencarian” berlaku hukum Faraidh, sedangkan terhadap “Harta Pusaka” berlaku hukum adat.

2. Berhubung I.K.A.H.I. Sumbar ikut serta mengambil keputusan dalam seminar ini, maka Seminar menyerukan kepada seluruh Hakim-hakim di Sumbar dan Riau supaya memperhatikan ketetapan Seminar ini ( Naim 1968 : 241)

II. Kemudian pada Seminar Hukum Adat Minangkabau tahun 1968 di Padang, yang di hadiri oleh para cendikiawan dan para ulama Minagkabau, ditetapkan bahwa terhadap harta pencaharian berlaku hukum faraidh, dan terhadap harta pusaka tinggi berlaku hukum adat.

Selanjutnya, tentang hukum waris diputuskan sebagai berikut :

a. Harta pusaka di Minangkabau merupakan harta badan hukum yang diurus dan diwakili oleh Mamak Kepala Waris di luar dan di dalam peradilan.

b. Anak kemenakan dan mamak kepala waris yang termasuk ke dalam badan hukum itu masing-masingnya bukanlah pemilik dari harta badan hukum tersebut. (Naim, 1968:243).

Kemudian Dr.Amir Syarifuddin berpendapat, bahwa pewarisan menurut adat bukanlah berarti peralihan harta dari pewaris kepada ahli waris, tetapi peralihan peranan atas pengurusan harta pusaka itu. Dengan demikian terlihat adanya perbedaan dalam system. Perbedaan tersebut akan lebih nyata dalam keterangan di bawah ini.

Pertama:

harta pusaka melekat pada rumah tempat keluarga itu tinggal dan merupakan dana tetap bagi kehidupan keluarga yang tinggal di rumah itu. Harta itu dikuasai oleh perempuan tertua di rumah itu dan hasilnya dipergunakan untuk manfaat seisi rumah. Pengawasan penggunaan harta itu berada di tangan mamak rumah. Bila mamak rumah mati, maka peranan pengawasan beralih kepada kemenakan yang laki-laki. Bila perempuan tertua dirumah itu mati, maka peranan penguasaan dan pengurusan beralih kepada perempuan yang lebih muda. Dalam hal ini tidak ada peralihan harta.

Penerusan peranan dalam system kewarisan adat, adalah ibarat silih bergantinya kepengurusan suatu badan atau yayasan yang mengelola suatu bentuk harta. Kematian pengurus itu tidak membawa pengaruh apa – apa terhadap status harta, karena yang mati hanya sekedar pengurus.

Hal tersebut di atas berbeda sama sekali dengan bentuk pewarisan dalam hukum Islam. Dalam Hukum Islam pewarisan berarti peralihan hak milik dari yang mati kepada yang masih hidup. Yang beralih adalah harta. Dalam bentuk harta yang bergerak, harta itu berpindah dari suatu tempat ketempat yang lain. Sedangkan dalam bentuk harta yang tidak bergerak, yang beralih dalam status pemilikan atas harta tersebut.

Kedua

yang merupakan ciri khas dari harta pusaka ialah bahwa harta itu bukan milik perorangan dan bukan milik siapa -siapa secara pasti. Yang memiliki harta itu ialah nenek moyang yang mula-mula memperoleh harta itu secara mencancang melatah. Harta itu ditujukan untuk dana bersama bagi anak cucunya dalam bentuk yang tidak terbagi-bagi. Setiap anggota dalam kaum dapat memanfaatkannya tetapi tidak dapat memilikinya. ( DR Amir Syarifuddin Pelaksanaan Hukum Pewarisan Islam Dalam Adat Minangkabau 269-270)

Maka dengan demikianlah, jelaslah bahwa telah ada kesepakatan para alim ulama, niniak mamak, dan cadiak pandai tentang status harta pusaka itu sebagai warih bajawek, pusako batolong dari niniak turun kemamak dari mamak turun kekemanakan. Dan kemudian diturunkan pula kebawah menurut jalur Ibu dalam kaum atau suku yang bersangkutan. Indak buliah dihilang dilanyokkan, kok dibubuik layua dianjak mati, dijua indak dimakan bali di gadai indak dimakan sando.

Kemudian seperti sering saya kemukakan, bahawa harta pusaka itu adalah sebagai bukti, “asal usul” bahwa seseorang itu dapat dikatakan keturunan Minang ( Etnis Minangkabau) apabila mempunyai harta pusaka tiunggi. Dalam adat dikatokan, “nan ba pandam ba pakuburan nan ba sasok bajarami, kok dakek dapek di kakok, kok jauah dapek di antakan”. Seseorang nan indak punyo atau indak lai mempunyai harta pusaka, berarti indak lai basasok bajarami, tidak ba pandam ba pukuburan, maka orang atau keluarga yang telah habis harta pusakanya tidaklah lagi lengkap Minangnyo. Indak lai baurek tunggang, indak bapucuak bulek, atau dengan kato lain kateh indak bapucuak kabawah indak baurek orang tersebut dapat juga dikatakan “punah” punah dalam hal harta pusaka menurut aturan adat, jika dia meninggal dia dikatakan mati ayam mati tunggau. Malah ada pendapat para ahli adat, mangatokan bahwa apabila satu kaum sudah abih harato pusakonya, mako indak paralu lai ma angkek seorang panghulu, karena adat itu berdiri di ates pusako, cancang balandasan lompek basitumpu.

Harta pusaka itu adalah sebagai alat permersatu dalam jurai, kaum, dan bagi masyarakat Minang pada umum, sekaligus untuk mengetahui, nan sa asa sakaturunan menurut jalur adat.

Harta tersebut juga sebagai harta cadangan, jika ada dunsanak kemanakan yang kehidupannya agak susah di perantauan boleh babaliak kakampung uruihlah harata itu. Oleh karenanya dapat kita bayangkan jika harta pusaka di Minangkabau

di perjual belikan, maka masyarakat Minangkabau akan sama nasibnya dengan masyarakat daerah-daerah lain, akan tersingkir dari nagari asalnya sendiri

Harta itu adalah amanah, yang boleh hanyo diambil asilnya dan tidah untuak dimiliki, maka harta itu jangan sampai ilang atau lenyap ditangan kita. Karena harta itu bukanlah milik pribadi, tetapi adalah milik bersama, maka bersama-sama pula memeliharanya.

Namun, demikian jika ada yang berpendapat dengan mengatakan bahwa harta pusaka itu haram, itu adalah haknya. Tetapi bagaimana dengan pendapat para ulama Minangkabau diatas, apa itu tidak boleh di katakan sebagai “IJMAK” para ulama Minangkabau?

Dan selanjutnya, jika pendapat tersebut sudah sangat di yakini bahwa harta pusaka tersebut adalah haram menurut Agama. Mulailah terlabih dahulu dari diri sendiri, atas harta pusako nan saparuik, nan sakaum atau sapayung sapasukuan dan nan sanagari. Adat kan salingka nagari, pusako salingka kaum, tidak ada yang akan melarang, jika nan berhak telah sepakat untuk membuat apa saja atas harta pusaka tersebut. Dan kepada yang masih meyakini atas pendapat para uluma Minangkabau tersebut diatas, tentu juga itu merupakan hak, tidak ada pulah yang boleh memaksa kan kehendak. Ini tentu bukan berarti Taklid buta, kerana kita yakin para ulama Minang tersebut tentu telah melalui penelitian atau ITIHAT pula.


Sumber :http://bundokanduang.wordpress.com /Azmi Dt. bagindo



lanjuikkan..
Read More

Tambo Dan Sejarah Minangkabau

02.34 Diposting oleh Minangkabau


Dari bermacam Tambo yang tersedia dan pernah diterbitkan sebagai sumber sejarah minangkabau, oleh kaum cerdik cendekia di Minangkabau, ternyata kita memperoleh beragam Tambo yang isinya dan cara penyampaiannya tidak sama. Bagi penulis, penganalisaan Sejarah Terpusat dan Sejarah Tersebar Sebagai Upaya Merajut Sejarah Keminangkabauan, yang dilakukan oleh Sdr. Zulfadli sangat layak untuk ditampilkan dalam blog bundokanduang ini.

Analisa Sejarah Terpusat dan Analisa Sejarah Tersebar, Merupakan Sub kajian dari sejarah politik mengenai cara pandang terhadap sumber sejarah. Sejarah, hikayat, riwayat, atau tambo dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau. Sedangkan Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara/kerajaan. Disini Padusi ingin menegaskan, bahwa penulisan sejarah, riwayat dan asal usul suatu etnis dan bangsa – tidak dapat dihindari dari pengaruh politik masa itu.

Analisa Sejarah Terpusat

Seperti kita ketahui bahwa menurut ilmu antrolpologi, migrasi bangsa yang selanjutnya mendiami kepulauan Indonesia, terbagi dalam dua kali eksodus: Yang pertama disebut migrasi kelompok Melayu Tua (deutro melayu), yang mendiami wilayah- wilayah pedalaman. Kelompok ini merupakan splendid isolation yang senang berkurung diwilayah pegunungan, menolak segala kontak dengan orang yang datang dari luar. Hal ini akan berbeda dengan kedatangan Melayu Muda (proto Malayan). Cari Info : Melayu muda dan kebudayaan apa yang dibuat.

Cara penganalisaan sejarah terpusat, diawali dengan menentukan sentral cerita dari suatu sumber berita yang akan dikaji. Misalnya : India Centris, Yunani-Kuno Centris, Tambo Centris, Alexander Agung Centris, Riau Centris, Jambi Centris, Kerinci Centris, Sriwijaya Centris, Majapahit Centris dan atau Melayu Centris).

Penganalisaan ini akan memusatkan setting cerita dan mengkompilasi sejarah dengan bukti-bukti yang bersesuaian dengan sentralnya, misal : Masa kejayaan dan sejarah majapahit dengan masa kejayaan dan sejarah kerajaan ssriwijaya. Dengan cara mencocok cocokkan tokoh-tokoh yang ada dalam cerita, itu maka kita dapat menemukan peristiwa apa saja yang terjadi pada masa itu. Bukan tidak mungkin karena sifat hegemoni dari masing- masing kerajaan, akan menampilkan perseteruan dan perebutan wilayah kala itu.

Dalam penelaahan sejarah Minangkabau, jika dipakai Majapahit Centris, maka kita akan menemukan tokoh Dara Jingga, Dara Petak, Adityawarman, Gadjah Mada, Dewa Tuhan Perpatih dan seterusnya.

Jika memakai Sriwijaya Centris kita akan menemukan Bukit Siguntang Mahameru, Dapunta Hyang, Sang Sapurbna.

Jika memakai Jambi Centris kita akan menemukan Tribhuana Mauli Marwadewa, Pinang Masak, demikian seterusnya.

Sama halnya dengan Tambo Centris – yang dianggap sebagai sejarah minangkabau kuno – kita akan bertemu dengan Datuak Katumanggungan, Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Kekacauan akan terjadi jika kita mulai menghubungkan tokoh tokoh sentral yang disebut dalam Tambo itu, sehingga berupaya memaksakan sebuah konklusi tarikh, tokoh, ranji, silsilah dan kronologis, dan lain sebagainya. Contoh paling aktual adalah munculnya ranji tambo sbb: http://id.wikipedia.org/wiki/Tambo_Minangkabau. Kira-kira metode analisa sejarah terpusat ini akan mirip dengan metode utak atik gathuk yang biasa dipakai orang Jawa.

Analisa Sejarah Tersebar

Konsep kedua ini , berusaha keluar dari kerangkeng sentris-sentris diatas. Ide utamanya adalah menginventarisir jejak-jejak sejarah yang bisa didapat dengan ilmu antropologi atau seni budaya. Banyak aspek yang bisa diteliti. Saudara Zulfadli yang bukan dari kalangan sejarah ini, mencoba menelaah kepada fokus masing-masing, diantaranya :

- System kekerabatan : system matrilineal, suku, masalah harta

- Konsep ketatanegaraan / keselarasan : Bodi chaniago koto piliang (yg mirip sparta-athena),

- Konsep kepemimpinan : datuk dan penghulu

- Hasil budaya : ukiran, silat minang, randai, dll. .

Mungkin banyak kesimpulan lain yang dapat ditelaah, kesimpulan sementara diatas dilakukan sebagai upaya mencari jejak-jejak dari masing-masing aspek yang diteliti oleh Sdr. Zulfadli dari dunia luar (diluar Minangkabau).

Sdr. Zulfadli menyatakan bahwa ; “ia tidak percaya dengan konsep turun dari Gunung Marapi”, namun ia tetap mempertanyakan, kenapa koncep itu ada. Sama halnya soal percayanya ia terhadap keturunan Iskandar Zulkarnain dan akhirnya ia membuat pertanyaan kenapa ada Iskandar Zulkarnain.

Baginya ia menebar pertanyaan-pertanyaan liar, dalam Penganalisaan Sejarah Terpusat dan Sejarah Tersebar Sebagai Upaya Merajut Sejarah Keminangkabauan itu .
Kenapa Gunung Marapi? Kenapa bukan Gunung Kerinci, Gunung Ledang, Bukit Siguntang, Gunung Mahameru atau Gunung Semeru
Apakah telong nan batali itu ameh urai? emas yang mengalir di sungai-sungai Sumatera Tengah)
Kenapa Harimau Campa? Kenapa bukan Laksamana ChengHo atau Shih Huang Ti
Kenapa Iskandar Zulkarnain? Kenapa bukan Darius Agung, Nero atau Plato
Kenapa Nagari? Kenapa bukan kerajaan
Kenapa Triumvirat (Rajo Tigo Selo)? Kenapa bukan raja diraja
Kenapa Matrilineal?

Masing-masing pertanyaan berkembang menjadi penelitian-penelitian kecil yang melintasi zaman dan geografis, ia menghasilkan tarikh dan juga sebaran wilayah, dan setelah itu masing-masingnya kait-berkait secara otomatis.

Dari kisah yang tersebut dalam Tambo, kita mengenal :
Unsur India, yaitu : Cateri Bilang Pandai, Maharaja Diraja dan Indo Jalito.
Unsur Yunani, yaitu : Iskandar Zulkarnain.
Unsur Champa (Kamboja), yaitu : Harimau Champa

Dari ketiga migrasi kebudayaan ini, unsur India dan Yunasi menghasilkan Hellenisme, Seni Budha Yunani, Kebudayaan Gandhara, Ukiran Gandhara, dll. Sementara pengaruh unsure India dan Champa menghasilkan System kekerabatan Matrilineal. Pada system kemasyarakatan yang berasal dari pengaruh India dan Yunai menghasilkan sistem konfederasi di Minangkabau seperti yang hidup di Champa.

Timbul pertanyaan kita bagaimana keberadaan dua orang Datuk Minangkabau itu menurut versi Tambo dan Sejarah ?


Yang dapat kita simpulkan dari penelusuran tambo dan sejarah adalah :

1. Datuak Katumanggungan seorang anak raja (keturunan bangsawan dari kedua ibu dan bapaknya), sementara Datuak Parpatiah Nan Sabatang keturunan dari ibunya seorang bangsawan.

Siapakah yang menjadi orang tua dari kedua Datuk yang menletakkan sendi adat di Minangkabau itu ?

Dengan pola Analisa Sejarah Terpusat kita akan menemukan banyak sekali ragam pencocokan dengan centris-centris yang kita pilih, namun resikonya adalah benturan-benturan ketika menyusun konklusinya. Salah satu hasil konklusinya adalah mengkaitkan Majapahit Centris dengan Pagaruyung Centris.

2. Dalam penganalisaan Sejarah Tersebar, ditemukan hal-hal sebagai berikut:

a. Datuk Katumanggungan, adalah konseptor dan sekaligus pewaris dari sistem ketatanegaraan aristokratis yang mirip dengan konsepsi negara versi Sparta. Hal ini terinspirasi oleh nilai-nilai Hindu, cendrung kastaisme, suka dengan aturan-aturan yang tegas, setuju dengan konsep kerajaan.

b. Datuk Parpatiah Nan Sabatang, adalah konseptor dan sekaligus pewaris dari sistem ketatanegaraan demokratis yang mirip dengan konsepsi negara versi Athena, terinspirasi dengan ajaran Buddha (lihat filosofi motif Daun Bodi dan Teratai), lebih egaliter, suka dengan filsofi-filosofi, setuju dengan konsep federasi.

c. Indra Jalita melambangkan orang yang bangsawan sekaligus ilmuwan.

d. Cateri Bilang Pandai berkasta ksatria dan berprofesi seniman ulung di bidang seni rupa (ukiran, pahatan, lukisan)

e. Harimau Champa datang dari Champa yang juga menganut sistem nagari dan matrilineal.

Begitulah mozaik-mozaik yang ditemukan oleh Sdr. Zulfadli itu. Ia tidak terobsesi dengan siapa tokoh-tokoh ( yang disebutkan dalam tambo) secara nyata, karena akan menabrak fakta-fakta yang kita temui tentang atribut-atribut mereka.

Beberapa kesimpulan yang bisa kita ambil untuk saat ini adalah:
Nenek moyang Minangkabau berasal dari Tanah Basa India
Nenek moyang Minangkabau itu mengetahui tentang Iskandar Zulkarnain
Mereka membawa hasil Seni Budaya Hellenisme
Mereka berasal dari golongan yang berbeda-beda (Hindu, Buddha, dll)
Mereka terpelajar dan punya konsep ketatanegaraan yang dibawa ke Minangkabau (dalam tambo disebut warisan Kitab Undang yang diwarisi oleh Sultan Maharaja Diraja)
Mereka menganut System kekerabatan Matrilineal yang jejaknya bisa ditemukan di Kerala, Karnataka (keduanya di India), Muangthai dan Champa.
Dalam migrasi ke wilayah baru (Andalas) , mereka membawa orang yang setia dengan nama nama : Kambing Hutan, Kucing Siam dan Harimau Champa yang berasal dari 3 wilayah tadi)

Kapankah migrasi pertama manusia yang kemudian di kenal Minangkabau itu ?. Kedatangan mereka ke tanah Andalas itu yang dikatakan sebagai telong nan batali itu ameh urai, tidak dapat di perkirakan. . Akan tetapi Sdr. Zulfadli dapat mempredidksi tentang rentang waktu untuk kedatangan dan migrasi ke wilayah ini, yaitu antara di awal abad pertama Masehi hingga berdirinya kerajaan Kandis (Melayu Tua).

Sehubungan dengan pertanyaan atas literatur Koto Alang, yang menyebutkan bahwa Dua orang Datuk itu adalah warga Kerajaan Kandis dan Koto Alang, bagi Sdr Zulfadli cukup masuk akal secara tarikh, dan lebih logis ketimbang dikaitkan ke zaman Pamalayu, Singasari dan Majapahit.

Bagaimana jika ada yang berpendapat bahwa Adityawarman dianggap pendiri Pagaruyung ?

Masalah ini memang agak sedikit ganjil, jika dihubungkan dengan cerita Bundo Kanduang yang menjadi Raja Perempuan di Pagaruyung yang berkonflik dengan Negeri Sungai Ngiang.

Negeri Sungai Ngiang adalah Singingi di daerah Kuantan. Kerajaan Singingi ini masih sezaman dengan Kerajaan Kandis (sekitar abad 8 M).

Dalam kaba “ Cindua Mato” - telah berdiri kelengkapan pemerintahan, berupa Basa Ampek Balai yang anggotanya adalah beberapa unsur dari Langgam Nan Tujuah, artinya Lareh Koto Piliang telah berdiri. Padahal Gajah Tongga Koto Piliang, mengaku telah ada sebelum Pagaruyung ada.

Kesimpulannya. Latar cerita Cindua Mato adalah konflik antar kerajaan hulu dan hilir Batang Kuantan (Inderagiri) yang sezaman dengan Kandis (abad 8 M). Artinya Dua orang Datuk sebagai pendiri tatanan adat Minangkabau telah ada jauh sebelum masa konflik yang dikisahkan dalam kaba “ Cindua Mato “ itu.

Akhirnya benar atau tidaknya berdasarkan Penganalisaan Sejarah Terpusat dan Sejarah Tersebar Sebagai Upaya Merajut Sejarah Keminangkabauan kita kembalikan kepada ahlinya. Dengan demikian upaya mengeliminir mythos mythos yang ada diseputar Tambo dapat dilakukan dengan merangkai mythos itu sebagai fakta sejarah Minangkabau.

Sumber : http://bundokanduang.wordpress.com



lanjuikkan..
Read More

Sejarah Minangkabau

22.52 Diposting oleh Minangkabau


Zaman dahulu, ditenggara dan timur Minangkabau telah ada beberapa kerajaan yang sudah mempunyai hubungan dagang,diplomatik dan agama dengan masyarakat di luar Indonesia. Kerajaan pertama di pedalaman Minangkabau didirikan oleh Adityawarman. Pada saat kedatangan Adityawarman diperkirakan masyarakat hidup dalam nagari (negeri) yang struktur sosialnya disusun berdasarkan prinsip-prinsip matrilineal. Pembentukan kerajaan Minangkabau oleh Adityawarman merupakan peristiwa penting dalam sejarah Minangkabau, karena peristiwa itu menunjukan usaha pertama dalam pembentukan sebuah sisitem otoritas yang berada diatas tingkat nagari yang otonom.

Adityawarman adalah seorang raja Darmasraya dari kerajaan Melayu Jambi yang berdarah Jawa Melay. Ketika ekspedisi Pemalayu selesai (1275) tentara Singasari kembali ke Jawa dengan membawa 2 orang Putri dari Kerajaan Melay, yaitu Dara Perak dan Dara Jingga. Dara Perak menjadi istri Kertarajasa,raja Majapahit yang pertama(1292-1309) dan ibu dari Jayanegara, raja Majapahit Kedua (1309-1328). Dara Jingga dikawinkan degan seorang Ksatria dan menjadi ibu dari Adityawarman .Karena itulah Aityawarman dibesarkan dan dididik di Majapahit. Pada tahun 1347 Adityawarman kembali ke Darmasraya dan menjadi raja. Kepulangan didorong oleh usaha ekspansi kekuasaan kerajaan Majapahit yang menyebabkan di a ditunjuk menjadi raja Darmasraya yang berada dibawah pengaruh Majapahit. Dia memperluas kerajaan dengan menaklukan seluruh Sumatera Tengah dan menjadikan Pagaruyung sebagai ibukota kerajaan. Karenatidak ada sebuah kerajaan supra-nagari di Minangkabau, yang ada hanya nagari (Negeri) yang otonom, maka dengan mudah dia menguasai daerah pedalaman Minangkabau dan mendirikan kerajaan Minagkabau pertama. Di Pagaruyung, Saruaso, Bukit Gombak, dan Lima Kaum ditemukan beberapa batu basurek (bersurat) yang menuliskan kebesaran kekuasaannya sebgai raja Minangkabau didirikan melalui penaklukan (peperangan).

Sayangnya belum ada sumber informasi lain tentang birokrasi dan seni pemerintahannya. Adalah mungkin sekali kedua tokoh adat Minangkabau yaitu : Datuk Ketemanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang menjadi penjabat-penjabat yang membantu Adityawarman . Mungkin Datuk Perpatih Nan Sabatang menjadi Perdana Menteri dan Datuk Katemanggungan menjadi Panglima Perang.
Sumber : Nagari Dalam Perspektif Sejarah
lanjuikkan..
Read More